Aku teringat kisah sahabat. Satu setengah. Ya, jumlahnya satu setengah. Begitu unik, langka, aneh, tapi justru itu yang membuatku tak pernah melepaskan pandangan darinya. Padanya tersimpan keajaiban, yang tidak pernah aku miliki. Ide, karya, ciptaan, bahasa, kosakata, semua beda. Karena beda aku berwarna. Karena begitu berbeda, aku rasa mereka begitu berwarna.
Hari-hari warna-warni ku sirna sudah. Entah kemana lagi harus ku cari, warna-warna gradasi duniaku yang mampu membuatku menjadi lebih berwarna dari pelangi. Aku tak mampu mengingat campuran warnanya. Berapa takarannya, seberapa kental larutannya, seperti apa takarannya, karena itu aku tak lagi mampu menciptakan gradasinya, di sini. Mungkin belum waktunya. Atau mungkin belum. Hanya belum.
Kuputarkan bola duniaku pada hamparan merah sekarang. Segalanya nampak merah, tenang, stabil, keras, nampak berani, harus berani, bak pertandingan panas. Tak ada merah muda yang ceria, usil, riuh, ataupun biru yang tenang, luas, mengalir, tegas.
Sekarang latar kertasku, merahku, harus siap ditumpahkan oleh cerah cercah warna lain. Kurasa, mereka juga begitu. Keinginanku menjadi penumpah ide, walaupun tak sirna, kuakui aku kehilangan warnanya. Ya, Ini hanya masalah waktu. Waktu.