Wednesday, September 14, 2011

Aku dan Tembok Itu

Ketika aku berbaring, rumput dengan lembut menyentuh kulitku yang sensitif. Diam, diam, diam. Dalam diam kurasakan tanah mulai menyatu dengan tubuhku. Kubentangkan tangan dan kutatap langit lekat-lekat. Awan dengan lekukannya yang khas seolah menari-nari diatas wajahku yang sudah kulupakan bentuknya. Kemudian langit secara perlahan memamerkan keindahan dirinya dengan bantuan sinar matahari yang selalu setia dan awan-awan putih yang sejak awal menggantung di atas sana hingga membuatku tak bisa beralih. Adakah tempatku di sana?

Dengan berat kutopang tubuhku dan mencoba untuk berdiri. Lagi-lagi, tembok besar itu menghalangi pandanganku untuk melihat langit yang indah dengan lebih jauh. Matahari pergi secara perlahan, menuju wilayah yang tak pernah kusentuh. Begitupun dengan awan-awan, yang seolah selalu setia menjadi pelengkap kehangatan matahari yang dicintai oleh semua mahluk hidup. Ya, ia selalu dicintai oleh banyak individu, banyak orang. Kemudian ketika lewat dari tengah hari, ia akan pergi, menuju tempat yang tak lagi bisa kujangkau. Tembok sial itu benar-benar mengganggu hidupku yang tak bisa disebut bahagia. Seolah meledek keterbatasanku, tembok besar itu tetap berdiri kokoh, enggan disingkirkan.

Jangan kalian tanya berapa kali aku mencoba menghancurkan tembok itu semampuku. Sudah kupukul dengan begitu banyak benda. Sudah ku dorong dengan seluruh kemampuan yang ada. Bahkan sudah kulumuri seluruh permukaannya dengan air mata derita yang selama ini berderai jatuh tak terbendung. Kemana semua orang? mengapa hanya aku yang di sini? apakah sehina itu diriku hingga tak pantas hidup di balik tembok sial ini? Apa seburuk itu menjadi berbeda?

Aku kesepian. Terutama setelah matahari pergi meninggalkanku. Aku selalu menantikan kehangatannya. Menunggu senyumannya, menantikan tawanya. Sekalipun pada malam hari, aku jadi gila karenanya. Karena kepergiannya. Karena rasa rindu yang seolah merobek seluruh jantungku, lambungku, tenggorokanku, kulitku, bibirku. Aku rindu akan kehangatan yang ia bawa. Sekalipun itu menimbulkan candu dan bekas yang mendalam dalam setiap lukaku. Sekalipun kehadirannya, selalu menambahkan goresan dalam hatiku.

Seolah menantang tembok itu terus berdiri tegak di hadapanku. Seolah menghina, tembok itu tak pernah sedikitpun hilang dari hadapanku. Lapangan sempit ini sudah membuatku hampir-hampir gila. Aku butuh mereka yang berada di balik tembok sialan ini. Berteriakpun percuma. Takkan ada satupun yang mampu menolong. Bahkan burung-burung yang melintaspun menertawakanku dengan kicauannya yang ramai. Angin menghina dengan dorongannya yang kasar dan tembok itu. Ya, tembok itu. Menatap dengan jijik kearah aku, yang tak kunjung mampu mengubahnya. 

Entah siapa yang salah, aku tak tahu. Bagaimana kisah awalnya? aku pun lupa. Yang kusadari hanya posisi melelahkan ini. Bahkan bayanganku pun enggan bersamaku lagi.


No comments:

Post a Comment

silahkan tulis komentar anda :D