Sunday, April 17, 2011

Hujan Malam Itu

Bau hujan mengingatkanku akan malam itu. Ketika suara motormu perlahan terdengar sayup ditelingaku. Kedua orangtuaku telah duduk di beranda, menahan dinginnya angin malam dan cipratan air dari lantai. Demi bertemu dengan mu, demi melihat pilihanku. Hujan malam itu membuatmu basah  kuyup, begitupun dengan kaki kedua orang tuaku. Aku menunggu sambil menyaksikan acara televisi, tanpa sedikitpun kutangkap apa isi ceritanya.

Suara motormu sontak membuat ayahku berdiri tegap. Melihat dengan tatapan serius kearah kamu, yang sedang buru-buru melepaskan helm di sebrang pagar. Aku pun tanpa sadar berlari membukakan pagar untukmu. Sambil membantumu menggiring kuda besi, masuk kedalam kediamanku.

"Kau telat" itu kalimat pertama yang ayahku keluarkan sambil berkecak pinggang. Kamu hanya tertunduk, diam, kemudian meminta maaf sedalam-dalamnya. Bukan hanya kamu, saat ini hatiku pun kacau dan kecewa. Aku tidak dapat menerka ayahku. Dan ini, baru pertama kali terjadi. Ibu langsung membantumu yang basah kuyup masuk kedalam rumah. TV ku matikan dan aku cepat-cepat mengambil kaos ayah yang sudah cukup usang. Maaf aku membuatmu harus mengenakan pakaian yang sudah jadi kandidat kain lap. Mau bagaimana. Hanya satu alasanku, nanti ayah semakin murka.

Umurku ketika itu baru 14 tahun, selama 2 hari. Kamu baru berumur 17 tahun dan baru 1 minggu memiliki sim. Sungguh usia yang sangat muda, dibandingkan dengan saat ini. Ibu berusaha membantumu, memberikan kebutuhan mu di malam itu. Dan aku, dengan segera merebus air dan memberikan teh kedalamnya. Aroma teh seakan membiusku, membuat ku jadi jauh lebih tenang. Tiba-tiba aku teringat akan kaki ayahku. Pasti ia sangat kedinginan. Kubesarkan api dan kubiarkan air semakin jadi panas. Saat itu, semua orang menjadi dingin.

Ibu terus-terusan mengelus bahu ayah yang lebar. Kini mereka bertiga tengah duduk di ruang tengah ditemani angin malam yang masuk dari pintu. Ayahpun memulai pembicaraan.

"Siapa namamu?"
Kamu seketika mengangkat kepala dan menegakkan punggungmu. Melihat hal itu, rasanya aku mengerti apa alasanmu bersikeras menerima undangan tak terhormat ayah yang berkali-kali kutangisi.
"Dias" jawabmu tegas.
"Berapa umurmu?"
"17"
"Kau masih sekolah?"
"Ya"
"Apakah kau pernah membuat onar di sekolah"
"Tidak... aku punya banyak teman di semua kelas dan guru-guru percaya padaku"

Penyataanmu di malam itu membuat ayahku bungkam. Tiba-tiba aku teringat akan teh ku dan langsung berlari-lari kecil menuju dapur. Kusiapkan 3 gelas dan 1 poci penuh teh coklat favoritku. Perlahan kubawa teh itu dengan baki. Itu merupakan pengalaman pertamaku membawa baki seberat itu. Ibu yang melihatku tia-tiba terkejut melihatku yang keluar dari daur dan segera ingin membantuku. Aku menolak dengan halus. Aku akan buktikan, bahwa aku juga bisa menyeduh teh untuk ayah dan tamu nya.

Ayah teralih pandangannya ketika aku datang membawa teh dengan  poci kesayangannya. Aku berlutut, kemudian menuangkan teh itu ke gelas-gelas yang kubawa. Kemudian aku duduk dengan rapi disebelah ayah,  menatap Dias yang semakin bias di mata ku. 

"Kau masih begitu muda. Mengapa kau nekat mencoreng namamu dengan membuat gadisku terluka? tidakkah kau berfikir terlebih dahulu? ia dan kamu masih begitu belia! belum waktunya kamu berani membawa gadisku dan sok jadi raja jalanan dengan kendaraanmu!"

Ayah murka. Seketika kalimat panjang ayah membuat otakku berputar, mengingat malam hujan sebulan yang lalu. Kuda besi mu tergelincir dan kita terjatuh bersama ke jalanan yang keras dan licin. Luka pada lenganmu kini nampak jelas dibawah remang lampu ruang tengahku. Dan luka di kepalaku, seketika menjadi sangat ngilu, seakan-akan ia sadar bahwa ialah yang menjadi pokok masalah pembicaraan yang memanas ini. 

Kamu hanya diam, tampak menangis di mataku. Luka di lenganmu jauh lebih parah dan lebih berbekas daripada luka di kepala ku. Seharusnya, ayahku memaafkanmu. Kamu melindungiku di malam itu.

"Maafkan saya" 
Tiba-tiba suara mu memecah keheningan dan menurunkan dada ayah yang naik karena amarah. Kepala mu kini terangkat dan sungguh jelas terlihat di mata mu bahwa kau menyesal. 
"Maafkan saya"
Lagi-lagi kamu mengucapkan itu. Tak lama gerakan mu membuatku menjatuhkan airmata.
"Nak Dias... tak perlu berlutut seperti itu... ayo duduk lagi"
Suara ibu terdengar begitu pilu. Tubuhku serasa dirantai, mulutku terkunci. Apa apaan kamu!
"Maafkan saya... saya mengerti... sangat sulit memaafkan saya... bahkan saya pun belum bisa memaafkan kecerobohan saya... Saya tak tahu lagi harus berbuat apa... "
Kalimatmu membuat lubang besar di dadaku. Apa apaan kamu! Jangan membuatku semakin tak dapat menahan air mata. Sungguh semua itu bukan cuma kesalahanmu. Itu juga salahku. Akulah yang memaksamu berkendara malam itu, membawa ku.

Ayah tak lagi dapat berkata-kata. Wajahnya kian melembut, sejak kau mengucapkan maaf pertama kali. Tiba-tiba ayah bangkit dari duduknya dan merangkulmu perlahan.

"ayo nikmati tehnya. Angkat kepalamu Dias. Bu, tolong nyalakan TV. Ayo kita nikmati malam ini bersama-sama. Tidakkah kau ingin menikmati teh buatan Ayu?"

Kamu mengankat kepala dan menatap ayah perlahan. Kemudian kamu mengalihkan pandangan padaku dan perlahan kulihat air matamu meluncur dalam diam.

Ingatkah kau malam itu? Hei... hujan malam ini sangat mirip dengan hujan yang membasahi motor dan jaketmu dikedua malam hujan yang kukenang. Lagi-lagi, di usia yang sudah menuju senja, aku duduk sendiri menyaksikan acara TV yang samasekali tak kutangkap isinya. Anak-anak telah tertidur lelap dan aku tak bisa melewatkan hujan malam ini, malam yang membuatku teringat akan masa itu.

Tiba-tiba handphone ku berdering, tertera namamu dipermukaan layarnya. Ah sungguh kebetulan. 
"Halo?" kataku dengan pelan.
"Halo. Selamat malam wanita ku. Hei disini hujan sangat deras... tiba-tiba aku ingat sama bekas luka di kepalamu.... hahahahhaahahaha. Apa kabar Indonesia? ah... mm... maksudku bagaimana kabarmu? kabar anak-anak?"
Ah...suara mu memecah malam. Terdengar lebih nyaring dari bunyi TV atau hujan yang sejak satu jam yang lalu memenuhi telingaku.
"kabar baik"
jawabku dengan senyum dan airmata.

-Pada malam dengan hujan, angin dan petir, Aku bercerita-

No comments:

Post a Comment

silahkan tulis komentar anda :D